BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Di dalam ekonomi syariah, sebagi contoh dapat
diambil pada Bank Syariah. Pada Bank Konvensional memberlakukan system bunga
(riba), sedangkan pada Bank Syariah memberlakukan
system bagi hasil. Secara umum, pinsip dasar perbankan yang dianut Bank Syariah
itu menggunakan prinsip dasar muamalah dan syariah. Dari masalah ini banyak
bermunculan pendapat mengenai riba, ada yang berpendapat bahwa bunga bank itu
adalah riba, sehingga hukumnya haram, maksud
dari pendapat ini adalah menganggap bahwa bunga dalam segala jenisnya adalah
jenisnya sama dengan riba sehingga hukmnya adalah haram. Selain itu ada kalanya
juga mereka menganggapa bahwa bunga untuk keperluan yang bersifat komsutif sama
dengan riba, hukumnya haram. Sedangkan bunga untuk usaha produktif tidak sama
dengan riba, hukumnya halal. Sebagai contoh, yaitu Bunga yang diperoleh dari
tabungan giro tidak sama dengan riba, hukumnya halal Bunga bank tidak haram kalau bank itu
menetapkan tariff bunganya terlebih dahulu secara umum. Ada yang menganggap
juga bahwa bunga itu syubhat (perkara
yang meragukan/samar-samar) sehingga tidak identic dengan haram. Walaupun NU
menyatakan bahwa bank dengan system riba itu haram tetapi mereka berpandangan
bahwa bunga yang diberikan oleh bank-bank milik Negara yang diberikan kepada
para nasabahnya atau sebaliknya yang selama ini berlaku termasuk perkara mutasyabihat (perkara yang tidak tentu
halal-haramnya).
Bank syariah saat ini sudah termasuk banyak, namun belom
menjangkau semua lapisan masyarakat. Misalnya, masyarakat di pelosok desa di
daerah Pati harus menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer, menempuh waktu
berjam-jam untuk sampai ke kantor bank syariah yang ada di Kota Kudus, dan ini
sungguh sangat merepotkan masyarakat. Dalam hal ini lebih baik kita bersama-sama
mengupayakan agar system perbankan syariah yang adil ini bisa lebih unggul atau
paling tidak bisa setara dengan bank konvensional, jadi ada nilai lebih yang
dapat ditonjolkan selain karena sifatnya yang halal. Dengan begitu, secara
otomatis masyarakat akan berbondong-bondong menggunakan jasa dan layanan bank
syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH
BANK SYARIAH
Penerapan
system profit and loss sharing (bagi
hasil keuntungan dan kerugian) di dunia mulai diterapkan pertama kali di
Pakistan dan Malaysia sejak sekitar tahun 1940-an, yaitu dengan adanya upaya
pengelolaan dana jamaah haji secara inovatif dengan system bagi hasil. Bank syariah
di dunia dimulai dengan didirikannya Mit Ghamr Bank- di Kairo, Mesir, pada
sekitar tahun 1963. Secara signifikan, perkembangan bank syariah di dunia mulai
berkembang pesat sejak didirikannya Islamic
Development Bank (IDB) di Jeddah, pada tahun 1975. Selain itu disusul oleh
Dubai Islamic Bank (1975), Kuwait Finance House (1977), Islamic Faisal Bank (
di Mesir dan Sudan) pada tahun 1978, Jordan Islamic Bank for Finance and
Investment , Bahrain Islamic Bank, dan Islamic International Bank for
Investment and Development. Dan setelah itu barulah bank Syariah mulai menjamur
di dunia.
Sedangkan
perkembangan Bank Syariah di Indonesia dipengaruhi oleh perkembangan perbankan
syariah di Negara-negara Islam pada
tahun 1970-an. Awal periode 1980-an, para cendekiawan muslim telah mulai
membangkan wacana dan studi mengenai Bank Syariah. Setelah melalui kajian yang
cukup panjang, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 18-20 Agustus 1990
menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan di Cisariua, Bogor.
Kemudian hasil Lokakarya tersebut ditindaklanjuti dengan diadakannya Musyawarah
Nasional IV MUI di Jakarta pada tanggal 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat
Munas tersebut dibentuklah kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di
Indonesia.
Bank
Muamalat adalah Bank Syariah yang didirikan pertama kali di Indonesia, Bank ini
berdiri pada 1 November 1991 dan mulai beroperasi pada 1 Mei 1992. Pada saat
itu bank dengan system bagi hasil sudah diperbolehkan beroperasi oleh
pemerintah. Dan pada tahu 1998 peraturan
tentang operasional Bank Syariah sudah semakin membaik. Bank
Konvensionaldiperbolehkan untuk membuka Bank Syariah. Karena itulah pada tahun
1999 mulai berdiri Bank Syariah Mandiri Unit Usaha (UUS) Bank IFI. Setelah
tahun 1999, di Indonesia mulai banyak berdiri bank-bank Syariah lain sehingga
saat ini tak kurang dari 37 bank sudah melayani transaksi syariah.
B.
JENIS-JENIS
BANK SYARIAH
Dilihat
dari jenisnya, terdapat 4 macam Bank Syariah, diantaranya adalah sebagai
berikut :
1.
Bank Umum Syariah (BUS)
BUS (Bank Umum Syariah)
adalah bank yang sudah berdiri sendiri dan memiliki status perusahaan
tersendiri (perusahaan terbuka) sehingga dapat mengelola segala teknis
operasionalnya sendiri. Pada saat pertengahan tahun 2008 ada 4 BU, yaitu Bank
Muamalat, Bank Syariah Mandiri, Bank Syariah Mega Indonesia, dan Bank
Persyarikatan Indonesia.
2.
Unit Usaha Syariah (UUS)
Kedudukan UUS terhadap
Bank induknya (yang konvensional) biasanya setingkat divisi, departemen, group,
bisnis unit, atau bahkan produk. Tetapi dana yang ada tidak akan tercampur
dengan yang konvensionalnya, dikarenakan pencatatan/pembukuannya berbeda.
Bahkan meskipun transaksi dilakukan di counter
bank induk yang konvensional, pencatatan di system bank juga berbeda, dan
pelaporan ke Bank Indonesia juga berbeda, jadi secara prinsip dana yang
diterima dari bank syariah tidak akan tercampur dengan bank konvensionalnya.
Saat ini yang termasuk
UUS diantaranya adalah Bank IFI Syariah, Bank BNI Syariah, Bank Bukopin
Syariah, Bank BRI Syariah, Bank Danamon Syariah, Bank BII Syariah, Bank HSBC
Amanah Syariah, Bank Niaga Syariah, Bank Permata Syariah, Bank BTN Syariah,
Bank Ekspor Indonesia Syariah, Bank BTPN Syariah, Bank Lippo Syariah, dan ABN
Amro Bank Syariah, dan masih dapat bertambah lagi bank-bank syariah lainnya
seiring dengan pertumbuhan bank syariah yang begitu pesat.
Pada UUS ini, bisa
diubah menjadi bank syariah tersendiri yaitu dengan cara spin off (pemisahan) dari bank induknya. Proses ini diawali dengan
cara akuisisi terhadap sebuah bank (biasanya bank kecil). Bank yang akan
diakuisisi bisa bank konvensional bisa juga pada bank syariahnya. Tetapi dengan
berbagai pertimbangan, biasanya akuisisi lebih disarankan dilakukan terhadap
bank konvensional. Kemudian setelah tahap akuisisi, ada lagi proses konversi,
migrasi, dan transfer asset.
3.
Unit Usaha Syariah Bank Pembanguna Daerah (UUS
BPD)
UUS BPD adalah UUS yang
dimiliki oleh Bank Pembangunan Daerah. UUS BPD saat ini terdiri dari Bank Jabar
Syariah, Bank DKI Syariah, Bank Riau Syariah, Bank Sumut Syariah, BPD Aceh
Syariah, BPD Kalsel Syariah, BPD NTB Syariah, Bank Sumsel Syariah, Bank Kalbar
Syariah, BPD DIY Syariah, BPD Kaltim Syariah, Bank Nagari Syariah (BPD Sumbar),
Bank Jatim Syariah, Bank Sulsel Syariah, dan Bank Jateng Syariah.
4.
Bank Kustodian Syariah
Bank Kustodian atau
biasanya disingkat kustodian adalah suatu lembaga (bank) yang bertanggung jawab
untuk mengamankan asset keuangan dari suatu perusahaan ataupun perorangan. Bank
kustodian ini akan bertibdak/berperan sebagai tempat penitipan kolektif dari
asset seperti saham, obligasi, serta melaksanakan tugas administrative seperti
menagih seperti penjualan, menerima dividen, mengumpulkan informasi mengenai
perusahaan acuan seperti misalnya Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan,
menyelesaikan transaksi penjulan dan pembelian, melaksanakan transaksi dalam
valuta asing apabila diperlukan, serta menyajikan laporan atas seluruh
aktivitasnya sebagai kustodian kepada kliennya.
Bank yang saat ini
melayani kustodian syariah ada enam yaitu Deutsche Bank, Kustodian Bank HSBC,
Kustodian Bank Niaga, Citibank N.A. Indonesia, Kustodian Bank Bukopin, dan
Standard Chartered Bank.
C.
PRODUK
PERBANKAN SYARIAH
Produk
perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: Produk Penyaluran Dana, Penghimpunan Dana dan
Produk yang berkaitan dengan jasa yang diberikan perbankan kepada nasabahnya.
I. Penyaluran dana
Dalam menyalurkan dana pada nasabah,
secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi ke dalam tiga kategori
yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaannya yaitu:
·
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang
dilakukan dengan prinsip jual beli.
·
Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan
jasa dilakuakan dengan prinsip sewa.
·
Transaksi pembiayaan untuk usaha kerjasama yang ditujukan
guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank
ditentukan di depan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual.
Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk uang menggunakan prinsip
jual beli seperti murabahah, salam, dan istishna serta produk yang menggunakan
prinsip sewa yaitu ijiarah. Sedangkan pada kategori ketiga, tingkat keuntungan
bank ditentukan dari besarnya keuntungan usaha sesuai dengan prinsip bagi
hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang
disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah
musyarakah dan mudharabah.
1.
Prinsip Jual Beli (Ba’i)
Prinsip jual-beli dilaksanakan
sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of
property). Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi bagian harga
atas barang yang dijual. Transaksi jual – beli dibedakan berdasarkan bentuk
pembayarannya
-
Pembiayaan Murabahah
Murtabahah bi tsaman ajil atau lebih
dikenal sebagai murabahah berasal dari kata ribhu (keuntungan) yaitu transaksi
jual-beli di mana bank menyebut jumlah keuntungannya. Bank bertindak sebagai
penjual, sementara nasabah sebagai pembeli. Harga jual adalah harga beli bank
dari pemasok ditambah keuntungan.kedua belah pihak harus menyepakati harga jual
dan jangka waktu pembayarannya.
-
Salam
Salam adalah transaksi jual beli di
mana barang yang diperjualbelikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan
secara tangguh sedangkan pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai
pembeli, sementara nasabah sebagai penjual. Sekilas transaksi ini mirip jual
beli ijon, namun dalam transaksi ini kuantitas, harga, dan waktu penyerahan
barang harus ditentukan secara pasti. Ketentuan umum salam:
·
Pembelian hasil produksi harus diketahui spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu dan
jumlahnya.
·
Apabila hasil produksi yang diterima cacat atau tidak
sesuai dengan akad maka nasabah (produsen) harus bertanggung jawab dengan cara
antara lain mengembalikan dana yang telah diterimanya atau mengganti barang
yang sesuai dengan pesanan.
·
Mengingat bank tidak menjadikan barang yang dibeli atau
dipesannya sebagai persedian (inventory), maka dimungkinkan bagi bank untuk
melakukan akad salam kepada pihak ketiga (pembeli kedua) seperti bulog,
pedagang pasar induk atau rekanan.ini disebut pasar Salam.
-
Istishna
Produk ini menyerupai produk salam,
namun dalam istihna pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali
(termin) pembayaran. Skim istihna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada
pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
2.
Prinsip Sewa (Ijarah)
Transaksi ijarah dilandasi adanya
perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama saja dengan prinsip
jual beli, namun perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual
beli objek transaksinya adalah barang, maka pada ijiriah objek transaksinya
adalah jasa. Pada akhir masa sewa, bank dapat saja
menjual barang yang disewakannya kepada nasabah. Karena itu dalam perbankan
syariah dikenal ijiarah muntahhiyah bittmlik (sewa yang diikuti dengan
berpindahnya kepemilikan). Harga jual disepakati pada awal perjanjian.
3.
Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang
didasarkan prinsip bagi hasil adalah musyarakah dan mudharabah.
a. Musyrakah
Musyarakah adalah semua bentuk usaha
yang melibatkan dua pihak atau lebih dimana mereka secara bersama-sama
memadukkan seluruh bentuk sumber daya (aset) baik yang berwujud maupun tidak
berwujud (berupa dana, barang perdagangan [trading asset], kewiraswaataan
[entrepreneurship], kepandaian [skill], kepemilikan [property],
peralatan[equipment], atau intangible asset [seperti hak paten atau goodwill],
kepercayaan/reputasi [credit worthiness] dan barang-barang lainnya yang dapat
dinilai dengan uang.
ketentuan umum:
Semua modal disatukan untuk dijadikan
modal proyek musyarakah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak
turut serta dalam menentukkan kebijakan usaha yang dijalankan oleh pelaksana
proyek.
b. Mudharabah
Mudhrabah adalah bentuk kerjasama
antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (shahibul maal) mempercyakan
sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian
keuntungan.
Perbedaan yang esensial dari musyarakah
dan mudharabah terletak pada besarnya kontribusi atas manajemen dan keuangan
atau salah satu diantara itu dalam mudhrabah modal hanya berasal dari satu
pihak, sedangkan dalam musyarakah modal berasal dari dua pihak atau lebih.
Musyarakah dan Mudharabah dalam literatul fiqih berbentuk perjanjian
kepercayaan (uqud al amanah) yang menuntut tingkat kejujuran yang tinggi dan
menjungjung keadilan.
Ketentuan umum :
·
Jumlah modal yang diserahkan kepada nasabah selaku
pengelola modal harus diserahkan tunai, dapat berupa uang atau barang yang
dinyatakan dalam satuan uang.
·
Perhitungan dilakukan dengan pendapatan proyek (revenue
sharing) dan perhitungan dari keuntungan proyek (profit sharing).
·
Hasil usaha dibagi sesuai dengan persetujuan akad.
·
Bank berhak untuk melakukan pengawasan terhadap pekerjaan
namun tidak diperkenankan untuk mencapuri pekerjaan nasabah.
Mudharabah Muqqayadah
Karakteristik mudharabbah muqayadah
pada dasarnya sama dengan seperti persyaratan diatas. Perbedaannya adalah
terletak pada dasarnya adalah terletak pada adanya pembatasan penggunaan modal
sesuai dengan permintaanpemilik modal.
4.
Akad Pelengkap
Untuk mempermudah pelaksanaan
pembiayaan, biasanyaa diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelngkap ini tidak
ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah
pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya – biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar
untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
a.
Hiwalah (Alih Utang – Piutang)
Hiwalah adalah transaksi mengalihkan
utang piutang.
b.
Rahn (Gadai)
Tujuan akad rahn adalah untuk
memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan harus milik sendiri, jelas ukuran,sifat dan nilainya
ditentukan berdasarkan nilai riil pasar,dapat dikuasai namun tidak boleh
dimanfaatkan oleh bank.
c.
Qardh
Qardh adalah pinjaman uang.
d.
Wakalah
Wakalah dalam aplikasi perbankan
terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
e.
Kafalah (Garansi Bank)
Garansi bank dapat diberikan dengan
tujuan untuk menjaminpembayaran suatu kewajiban pembayaran.
II.
Produk Penghimpunan Bank
Penghimpunan dana di bank syariah dapat
berbentuk giro, tabuangan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang
diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah prinsip wadiah dan
mudharabah.
1. Prinsip Wadiah
Prinsip wadiah yang diterapkan adalah
wadiah yad dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadiah dhamanah
berbeda dengan wadiah amanah. Dalam wadiah dhamanah, pada prinsipnya harta
titipan tidak boleh dimanfaatkan oleh yang dititipi. Sedangkan dalam hal Wadiah
dhamanah, pihak yang dititipi (bank) bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan
sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut.
Karena wadiah yang diterapkan dalam
produk giro perbankan ini juga disifati dengan yad dhamanah, maka implikasi
hukumnya sama dengan qardh, dimana nasabah bertindak sebagai yang meminjamkan
uang, dan bank bertindak sebagai yang dipinjami.
Ketentuan umum dari produk ini adalah:
-
Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak
milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan
tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik
dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh
diperjanjikan dimuka.
-
Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya
mencakup izin penyaluran dana yang disimpan dan persyaratan lain yang
disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Khusus bagi
pemilik rekening giro, bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro, dan debit
card.
-
Terhadap pembukuan rekening ini bank dapat mengenakan
pengganti biaya administrasi untuk sekedar menutupi biaya yang benar-benar
terjadi.
-
Ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dengan
rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama tidak bertentangan dengan
prinsip syariah.
2. Prinsip Mudharabah
Dalam mengaplikasikan prinsip
mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik
modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan seperti
yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan bank untuk
melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan
berdasarkan nisbah yang disepakati. Dalam hal bank menggunakannya untuk
melakukan pembiayaan mudharabah, maka bank bertanggung jawab penuh atas
kerugian yang terjadi. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada
pemilik dana, ada usaha yang akan dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab kabul).
Prinsip mudharabah ini diaplikasikan pada produk tabungan berjangka dan
deposito berjangka.
Berdasarkan kewenangan yang diberikan
pihak penyimpan dana, prinsip mudharabah terbagi tiga yaitu:
a. Mudaharabah mutlaqah
Penerapan mudharabah mutlaqah dapat
berupa tabungan dan deposito sehingga terdapat dua jenis penghimpunan dana
yaitu: tabungan mudharabah dan deposito mudharabah. Berdasrkan prinsip ini
tidak ada pembatasan bagi bank dalam menggunakan dana yang dihimpun.
b. Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet
Jenis mudharabbah ini merupakan
simpanan khusus (restriced investment) dimana pemilik dana dapat menetapkan
syarat – syarat tertentu yang harus dipatuhi oleh bank. Misalnya diisyarakatkan
digunakan untuk bisnis tertentu atau diisyarkatkan untuk nasabah tertentu.
Perhitungan bagi hasil Mudharabah Muqqayyadah on balance Sheet adalah seluruh
nasabah kepada bank tanpa ada pembatasan tertentu pada pelaksana usaha yang
dibiayai maupun akad yang digunakan. Nasabah investor memberikan kebebasan
secara mutlak kepada bank syariah untuk mengatur seluruh aliran dana, termasuk
memutuskan jenis akad dan pelaksana usaha di seluruh sektor.
c. Mudharabah Muqqayyadah off Balance Sheet
Jenis muddarabah ini merupakan
penyaluran dana mudharabah langusung kepada pelaksana usahanya, dimana bank
bertindak sebagai perantara (arranger) yang mempertemukan antara pemilik dana
dengan pelaksana usaha. Dalam skema ini bank syariah bertindak sebagai arranger
saja. Pencatatan transaksinya di bank syariah secara off balance sheet. Bagi
hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja. Besar bagi
hasil tergantung kesepakatan antara nsabah investor dan pelaksana usaha bank
hanya memperoleh arrengger fee.
3. Akad Pelangkap
Untuk mempermudah pelaksanaan
penghimpunan dana. Biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini
tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah
pelaksanaan pembiayaan. Meskipun tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya-biaya yang
dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya pengganti biaya ini sekedar
untuk menutupi biaya yang benar-benar timbul.
.
III.
Jasa Perbankan
Bank syariah dapat melakukan berbagai
pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapatkan imbalan berupa sewa
atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa:
a. Sharf (Jual Beli Valuta Asing)
Pada prinsipnya jual-beli valuta asing
sejalan dengan prinsip sharf. Jual beli mata uang yang tidak sejenis ini
penyerahannya harus dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil
keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b. Ijarah (sewa)
Jenis kegiatan ijarah antara lain
penyewaan kotak simpanan buka tutup (safe deposit box) dan jasa tata-laksana
administrasi dokumen (custodian). Bank dapat imbalan sewa dari jasa tersebut.
D.
LEMBAGA TERKAIT BANK SYARIAH
Lembaga-lembaga yang terkait dengan
bisnis perbankan syariah, ada Dewan Syariah Nasional (DSN), Pusat Komunikasi
Ekonomi Syariah (PKES), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Basyarnas, Ikatan
Akuntan Indonesia (IAI) dan lain-lain. Baiklah, akan kami jelaskan beberapa
lembaga yang terkait dengan bisnis perbankan syariah :
1. Dewan Syariah
Nasional (DSN)
DSN atau Dewan Syariah Nasional ini
adalah dewan yang dibentuk oleh MUI untuk menangani masalah-masalah yang
berhubungan dengan lembaga keuangan syariah. DSN ini bertugas menumbuhkan
penerapan nilai-nilai syariah dalam kegiatan perekonomian pada umumnya dan
keuangan pada khususnya. DSN juga bertugas mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis
kegiatan keuangan, mengeluarkan fatwa atas produk dan jasa keuangan syariah,
serta mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan.
Wewenang yang dimiliki oleh DSN
diantaranya adalah :
-
mengeluarkan fatwa yang mengikat
Dewan Pengawas Syariah (DPS) di masing-masing lembaga keuangan syariah dan
menjadi dasar tindakan hukum pihak terkait.
-
Selain itu DSN juga mengeluarkan
fatwa yang menjadi landasan bagi ketentuan/peraturan yang dikeluarkan oleh
instansi yang berwenang seperti Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
-
DSN juga berwenang memberikan
rekomendasi nama-nama orang yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga
keuangan syariah.
-
DSN juga bisa mengandung para ahli
untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlakukan dalam pembahasan ekonomi
syariah, termasuk otoritas moneter atau lembaga keuangan dalam maupun luar
negri.
Anggota DSN terdiri dari para ulama,
praktisi dan para pakar dalam bidang-bidang terkait dengan perekonomian dan
mu’amalah syariah.
2.
Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)
Badan Arbitrase Syariah Nasional
(Basyarnas) adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang melakukan akad untuk
menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan prinsip syariah. Lembaga ini sudah
didirikan sejak tahun 1992 dengan nama Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI),
kemudian namanya diubah menjadi Basyarnas pada tahun 2003. Sejak berdirinya
lembaga ini hingga sekarang, minat perbankan syariah untuk memanfaatkan jasa
Basyarnas belom banyak, hal ini antara lain karena informasi mengenai manfaat
penyelesaian sengketamelalui Basyarnas belum tersosialisasi dengan baik kepada
bank syariah maupun nasabah syariah.
Sampai saat ini, selain di Jakarta,
Basyarnas ada juga di Lampung, Pekanbaru, Yogyakarta, Surabaya, dan dalam waktu
dekat akan menyusul beberapa kantor perwakilan yang lain. Basyarnas berfungsi
menyelesaikan sengketa dengan waktu yang sangat cepat, masing-masing pihak
dapat memiliki arbiter, kerahasian klien tetap terjamin karena hanya pihak-pihak
yang bersengketa dan arbiter yang mengetahui dan keputusannya bersifat finaldan
mengikat kedua belah pihak sehingga penyelesaiannya menjadi efektif dan
efisien. Pada lembaga ini diperlukan sosialisasi yang lebih bagus lagi agar
keberadaan lembaga ini dapat lebih diketahui oleh masyarakat luas, supaya
hak-hak serta kewajiban nasabah dan bank syariah bisa terlindungi.
3.
Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES)
PKES (Pusat Komunikasi Ekonomi
Syariah) ini dibentuk pada Desember 2003 untuk mengatasi keterbatasan pengetahuan
masyarakat tentang perbankan syariah dan perilaku menerapkan ekonomi syariah
pada umumnya. Anggota dari PKES ini adalah Bank Indonesia, Perbankan Syariah,
Lembaga Keuangan Non Bank, dan Instintusi Terkait sebagai Pendukung.
PKES melakukan komunikasi ke
masyarakat dalam rangka menyosialisasikan keuangan syariah melalui berbagai
media cetak dan elektronik. Kemudian PKES juga melakukan edukasi public dengan
mengadakan seminar, mengadakan berbagai forum kajian bisnis syariah, dan
berbagai kegiatan lain.
4.
Masyarakat Ekonomi Syariah (MES)
MES (Masyarakat Ekonomi Syariah)
adalah suatu masyarakat pelaku ekonomi yang melakukan usaha denngan
memanfaatkan lembaga industry keuangan dengan system syariah. Anggota dari MES
ini adalah para pengusaha mikro, kecil, dan menengah secara perseorangan atau
organisasi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Lembaga Pendanaan seperti Bank
Syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, pension syariah, dan lembaga lain
yang menganut prinsip syariah.
Lembaga ini dibentuk untuk
menanamkan rasa saling pengertian dan pemahaman dalam pemanfaatan system
industry keuangan syariah yang bisa menciptakan suatu sinergi yang harmonis diantara
komponen-komponen system syariah dan turut memikirkan dan memecahkan masalah
dan tantangan yang dihadapi oleh lembaga keuangan syariah tersebut. Tujuannya
adalah agar masyarakat khususnya masyarakat Muslim di Indonesia yang maju,
mandiri, dan dan sejahtera dapat segera tercapai.
Kegiatan dari MES diantaranya adalah
sbb :
-
untuk menghimpun dan menginventarisasi seluruh
komponen lembaga keuangan syariah,
-
menghimpun dan mengkoordinasi calon
anggota MES, melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang system dana
syariah,
-
melakukan pelatihan untuk meningkatkan SDM
pelaku usaha syariah,
-
mengadakan koordinasi/sinkronisasi
diantara komponen pendanaan syariah,
-
melakuakan pendampingan dan
pembinaan terhadap pengusaha anggota MES, melakukan monitoring dan evaluasi
di lapangan,
-
serta berperan dalam mengatasi
permasalahan yang dihadapi dalam pelaksaan prinsip-prinsip syariah di dalam
ekonomi syariah.
Selain itu MES biasanya menggelar Seminar Bulanan MES yang membahas
tentang berbagai permasalahan yang terjadi pada lembaga keuanngan syariah.
5.
Ikatan Akuntan Indonesia (IAI)
IAI (Ikatan Akuntan Indonesia)
berperan sebagai lembaga yang berwenang dalam menetapkan standard akuntansi
keuangan dan audit bagi berbagai industry merupakan elemen penting dalam
pengembangan perbankan syariah di Indonesia. Perekonomian syariah tidak dapat
berjalan dan berkembang dengan baik tanpa adanya standar akuntansi keuangan
yang baik. Karena dengan adanya standar akuntansi dan audit yang sesuai dengan
prinsip syariah berarti bisa mengakomodasi perbedaan esensi antara operasional
syariah dengan praktek perbankan yang telah ada.
Kalau di perbankan konvensional ada
Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia (PAPI), di Syariah ada Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI). Sejak tahun 2001 telah dilakukan berbagai
kerja sama penyusunan standar dan pedoman akuntansi untuk industry perbankan
syariah termasuk penyelesaian panduan audit perbankan syariah , revisi Pedoman
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 dan revisi PAPSI. Dalam penyusunan standar
koordinasi dilakukan dengan Bank Indonesia, DSN, serta pelaku perbankan syariah
dan dengan mempertimbangkan standar yang dikeluarkan lembaga keuangan syariah
internasional yaitu AAOIFI.
BAB III
KESIMPULAN
Ekonomi pada system syariah berbeda dengan
ekonomi pada dasarnya, contohnya pada bank syariah yang tidak menerapkan system
bunga seperti bank konvensional melainkan menrapakan system bagi hasil. Tujuan
dibentuknya ekonomi syariah ini adalah untuk untuk memberikan kesejahteraan
material dan spiritual berbeda dengan bank konvensional yang didirikan
bertujuan untuk mendapatkan keuntungan material sebesar-besarnya. Kesejahteraan
material dan spiritual tersebut didapat melalui usaha pengumpulan dan
penyaluran dana yang halal. Artinya, bank syariah tidak akan menyalurkan dana
untuk usaha-usaha yang tidak bisa dijamin bahwa hasilnya berasal dari kegiatan
yang halal. Karena itu dapat dikatakan bahwa konsep keuntungan pada bank
konvensional lebih cenderung, berfokus pada sudut keuntungan materi, sedangkan
konsep keuntungan pada bank syariah harus memperhatikan keuntungan dari sudut
duniawi dan akhirat. Jika memang tujuan nasabah sesuai dengan tujuan bank
syariah, maka secara prinsip tidak ada kekurangan dari menabung di bank syariah
karena adanya keseimbangan antara duniawi dan akhirat. Namun apabila tujuan
nasabah lebih ke aspek-aspek material, maka bisa jadi keuntungan yang diperoleh
akan kurang sesuai dengan harapan.
#sumber :
1.
Ahmad
Ifham Solihin, “ini lho, Bank Syariah”,PT.
Karya Kita, Bandung, September 2008
2.
http://banking.blog.gunadarma.ac.id/2012/04/13/bank-konvensional-versus-bank-syariah/
0 komentar:
Posting Komentar