BAB I
PENDAHULUAN
Trias Politika yang kini banyak
diterapkan adalah, pemisahan kekuasaan kepada 3 lembaga berbeda : Legislatif,
Eksekutif, dan Yudikatif. Dari ketiga lembaga itu masing-masing mempunyai
peranan dan tanggungjawab tersendiri dalam mengemudikan jalannya suatu
pemerintahan yang berdiri disuatu negara.
Tak heran hampir seluruh
negara-negara di dunia menerapakan konsep ini dalam kehidupan berpolitiknya
karena konsep tersebut merupakan cara-cara untuk berpolitik secara demokratis
dengan harapan jalannya pemerintahan negara tidak timpang, terhindar dari
korupsi pemerintahan oleh satu lembaga, dan akan memunculkan mekanisme check and balances (saling
koreksi, saling mengimbangi). Kendatipun demikian, jalannya Trias Politika di
tiap negara tidak selamanya mulus atau tanpa halangan.
BAB II
PEMBAHASAN
Trias Politika berasal dari
bahasa Yunani (Tri=tiga; As=poros/pusat; Politika=kekuasaan) yang merupakan
salah satu pilar demokrasi, prinsip trias politika membagi ketiga kekuasaan
politik negara (eksekutif, yudikatif dan legislatif) untuk diwujudkan dalam
tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan berada dalam
peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan independensi ketiga
jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances.
Konsep dasarnya adalah kekuasaan
di suatu negara tidak boleh dilimpahkan pada satu struktur kekuasaan politik
melainkan harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda.
Lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga pemerintah yang memiliki
kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan kewenangan eksekutif,
lembaga-lembaga pengadilan yang berwenang menyelenggarakan kekuasaan judikatif
dan lembaga-lembaga perwakilan rakyat (DPR, untuk Indonesia) yang memiliki
kewenangan menjalankan kekuasaan legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan
legislatif dibuat oleh masyarakat atau oleh wakil yang wajib bekerja dan
bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang diwakilinya (konstituen) dan yang
memilihnya melalui proses pemilihan umum legislatif, selain sesuai hukum dan
peraturan. Dengan adanya pemisahan kekuasaan ini, akan terjamin kebebasan
pembuatan undang-undang oleh parlemen, pelaksanaan undang-undang oleh lembaga
peradilan, dan pelaksanaan pekerjaan negara sehari-hari oleh pemerintah.
Dalam filsafat ilmu politik
pemikiran Montesquieu mengenai Trias Politika berkaitan dengan aliran filsafat
idealisme karena sangat menekankan kepada demokrasi dalam tubuh pemerintahan
yang tidak dapat ditemui dalam aliran filsafat lainnya.
Konsep Trias Politika merupakan ide pokok
dalam Demokrasi Barat, yang mulai berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII
. Trias Politika adalah anggapan bahwa kekuasaan negara terdiri dari tiga macam
kekuasaan : pertama, kekuasaan legislatif atau membuat undang-undang; kedua,
kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang; ketiga,
kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Trias Politica menganggap
kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk
mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa. Dengan demikian
diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini pertama
kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des
Lois (The Spirit of Laws). Sebelumnya konsep ini telah
diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris mengemukakan konsep
tersebut dalam bukunya Two Treatises
on Civil Government (1690), yang ditulisnya sebagai kritik terhadap
kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan Revolusi
Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan
oleh Parlemen Inggris.
Ide pemisahan kekuasaan tersebut,
menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk memelihara kebebasan politik, yang tidak
akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan masyarakat dalam negeri.
Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk mendominasi
kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat pada
tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak
terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi
satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya
Karya Montesqiueau ini hampir
diterapkan diseluruh Negara didunia yang menganut Demokrasi termasuk juga
Indonesia. Di Negara Komunis yang hanya mempunya satu partai cenderung menjauhi
konsep Trias Politica terlihat jelas bahwa bentuk pemerintahan hanya dipegang
oleh kalangan partai tunggal tersebut saja, sebut saja China, Korea Utara dan
Uni Soviet (masa perang dingin) adalah sejumlah Negara yang menjauhi Trias
Politica tak heran jika bentuk pemerintahannya bersifat otoriterian karna tidak
adanya pembagian kekuasaan.
Beda dengan Negara yang
mengenakan sistim Trias Politica. Dengan adanya lembaga Legislatif, kepentingan
rakyat dapat terwakili secara baik karma merupakan cermin kedaulatan rakyat.
Selain itu lembaga ini juga mempunyai fungsi sebagai check and balance terhadap dua
lembaga lainnya agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan dengan begitu
jalannya pemerintahan bisa berjalan efektif dan efisien.
Sejarah
Trias Politika
Pada masa lalu, bumi dihuni masyrakat pemburu primitif yang biasanya mengidentifikasi diri sebagai suku. Masing-masing suku dipimpin oleh seorang kepala suku yang biasanya didasarkan atas garis keturunan ataupun kekuatan fisik atau nonfisik yang dimiliki. Kepala suku ini memutuskan seluruh perkara yang ada di suku tersebut.
Pada perkembangannya, suku-suku kemudian memiliki sebuah dewan yang diisi oleh para tetua masyarakat. Contoh dari dewan ini yang paling kentara adalah pada dewan-dewan Kota Athena (Yunani). Dewan ini sudah menampakkan 3 kekuasaan Trias Politika yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahkan di Romawi Kuno, sudah ada perwakilan daerah yang disebut Senat, lembaga yang mewakili aspirasi daerah-daerah. Kesamaan dengan Indonesia sekarang adalah Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Namun, keberadaan kekuasaan yang terpisah, misalnya di tingkat dewan kota tersebut mengalami pasang surut. Tantangan yang terbesar adalah persaingan dengan kekuasaan monarki atau tirani. Monarki atau Tirani adalah kekuasaan absolut yang berada di tangan satu orang raja. Tidak ada kekuasaan yang terpisah di keduanya.
Pada abad Pertengahan (kira-kira tahun 1000 – 1500 M), kekuasaan politik menjadi persengketaan antara Monarki (raja/ratu), pimpinan gereja, dan kaum bangsawan. Kerap kali Eropa kala itu, dilanda perang saudara akibat sengketa kekuasaan antara tiga kekuatan politik ini.
Sebagai koreksi atas ketidakstabilan politik ini, pada tahun 1500 M mulai muncul semangat baru di kalangan intelektual Eropa untuk mengkaji ulang filsafat politik yang berupa melakukan pemisahan kekuasaan. Tokoh-tokoh seperti John Locke, Montesquieu, Rousseau, Thomas Hobbes, merupakan contoh dari intelektual Eropa yang melakukan kaji ulang seputar bagaimana kekuasaan di suatu negara/kerajaan harus diberlakukan.
Untuk keperluan mata kuliah ini, cukup akan diberikan gambaran mengenai 2 pemikiran intelektual Eropa yang berpengaruh atas konsep Trias Politika. Pertama adalah John Locke yang berasal dari Inggris, sementara yang kedua adalah Montesquieu, dari Perancis.
John Locke (1632-1704)
Pemikiran John Locke mengenai Trias Politika ada di dalam Magnum Opus (karya besar) yang ia tulis dan berjudul Two Treatises of Government yang terbit tahun 1690. Dalam karyanya tersebut, Locke menyebut bahwa fitrah dasar manusia adalah “bekerja (mengubah alam dengan keringat sendiri)” dan “memiliki milik (property)." Oleh sebab itu, negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Mengapa Locke menulis sedemikian pentingnya masalah kerja ini ?
Dalam masa ketika Locke hidup, milik setiap orang, utamanya bangsawan, berada dalam posisi yang rentan ketika diperhadapkan dengan raja. Kerap kali raja secara sewenang-wenang melakuka akuisisi atas milik para bangsawan dengan dalih beraneka ragam. Sebab itu, kerap kali kalangan bangsawan mengadakan perang dengan raja akibat persengkataan milik ini, misalnya peternakan, tanah, maupun kastil.
Negara ada dengan tujuan utama melindungi milik pribadi dari serangan individu lain, demikian tujuan negara versi Locke. Untuk memenuhi tujuan tersebut, perlu adanya kekuasaan terpisah, kekuasaan yang tidak melulu di tangan seorang raja/ratu. Menurut Locke, kekuasaan yang harus dipisah tersebut adalah Legislatif, Eksekutif dan Federatif.
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang. Hal penting yang harus dibuat di dalam undang-undang adalah bahwa masyarakat ingin menikmati miliknya secara damai. Untuk situasi ‘damai’ tersebut perlu terbit undang-undang yang mengaturnya. Namun, bagi John Locke, masyarakat yang dimaksudkannya bukanlah masyarakat secara umum melainkan kaum bangsawan. Rakyat jelata tidak masuk ke dalam kategori stuktur masyarakat yang dibela olehnya. Perwakilan rakyat versi Locke adalah perwakilan kaum bangsawan untuk berhadapan dengan raja/ratu Inggris.
Eksekutif adalah kekuasaan untuk melaksanakan amanat undang-undang. Dalam hal ini kekuasaan Eksekutif berada di tangan raja/ratu Inggris. Kaum bangsawan tidak melaksanakan sendiri undang-undang yang mereka buat, melainkan diserahkan ke tangan raja/ratu.
Federatif adalah kekuasaan menjalin hubungan dengan negara-negara atau kerajaan-kerajaan lain. Kekuasaan ini mirip dengan Departemen Luar Negara di masa kini. Kekuasaan ini antara lain untuk membangun liga perang, aliansi politik luar negeri, menyatakan perang dan damai, pengangkatan duta besar, dan sejenisnya. Kekuasaan ini oleh sebab alasan kepraktisan, diserahkan kepada raja/ratu Inggris.
Dari pemirian politik John Locke dapat ditarik satu simpulan, bahwa dari 3 kekuasaan yang dipisah, 2 berada di tangan raja/ratu dan 1 berada di tangan kaum bangsawan. Pemikiran Locke ini belum sepenuhnya sesuai dengan pengertian Trias Politika di masa kini. Pemikiran Locke kemudian disempurkan oleh rekan Perancisnya, Montesquieu.
Montesquieu (1689-1755)
Montesquieu (nama aslinya Baron Secondat de Montesquieu) mengajukan pemikiran politiknya setelah membaca karya John Locke. Buah pemikirannya termuat di dalam magnum opusnya, Spirits of the Laws, yang terbit tahun 1748.
Sehubungan dengan konsep pemisahan kekuasaan, Montesquieu menulis sebagai berikut : “Dalam tiap pemerintahan ada tiga macam kekuasaan: kekuasaan legislatif; kekuasaan eksekutif, mengenai hal-hal yang berkenan dengan dengan hukum antara bangsa; dan kekuasan yudikatif yang mengenai hal-hal yang bergantung pada hukum sipil. Dengan kekuasaan pertama, penguasa atau magistrat mengeluarkan hukum yang telah dikeluarkan. Dengan kekuasaan kedua, ia membuat damai atau perang, mengutus atau menerima duta, menetapkan keamanan umum dan mempersiapkan untuk melawan invasi. Dengan kekuasaan ketiga, ia menghukum penjahat, atau memutuskan pertikaian antar individu-individu. Yang akhir ini kita sebut kekuasaan yudikatif, yang lain kekuasaan eksekutif negara.
Dengan demikian, konsep Trias Politika yang banyak diacu oleh negara-negara di dunia saat ini adalah Konsep yang berasal dari pemikir Perancis ini. Namun, konsep Trias Politika ini terus mengalami persaingan dengan konsep-konsep kekuasaan lain semisal Kekuasaan Dinasti (Arab Saudi), Wilayatul Faqih (Iran), Diktatur Proletariat (Korea Utara, Cina, Kuba).
Fungsi-fungsi Kekuasaan Legislatif
Legislatif adalah struktur politik yang fungsinya membuat undang-undang. Di masa kini, lembaga tersebut disebut dengan Dewan Perwakilan Rakyat (Indonesia), House of Representative (Amerika Serikat), ataupun House of Common (Inggris). Lembaga-lembaga ini dipilih melalui mekanisme pemilihan umum yang diadakan secara periodik dan berasal dari partai-partai politik.
Melalui apa yang dapat kami ikhtisarkan dari karya Michael G. Roskin, et.al, termaktub beberapa fungsi dari kekuasaan legislatif sebagai berikut : Lawmaking, Constituency Work, Supervision and Critism Government, Education, dan Representation.
Lawmaking adalah fungsi membuat undang-undang. Di Indonesia, undang-undang yang dikenal adalah Undang-undang Ketenagakerjaan, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-undang Guru Dosen, Undang-undang Penanaman Modal, dan sebagainya. Undang-undang ini dibuat oleh DPR setelah memperhatikan masukan dari level masyarakat.
CONSTITUENCY WORK adalah fungsi badan legislatif untuk bekerja bagi para pemilihnya. Seorang anggota DPR/legislatif biasanya mewakili antara 100.000 s/d 400.000 orang di Indnesia. Tentu saja, orang yang terpilih tersebut mengemban amanat yang sedemikian besar dari sedemikian banyak orang. Sebab itu, penting bagi seorang anggota DPR untuk melaksanakan amanat, yang harus ia suarakan di setiap kesempatan saat ia bekerja sebagai anggota dewan. Berat bukan ?
SUPERVISION AND CRITISM OF GOVERNMENT, berarti fungsi legislatif untuk mengawasi jalannya pelaksanaan undang-undang oleh presiden/perdana menteri, dan segera mengkritiknya jika terjadi ketidaksesuaian. Dalam menjalankan fungsi ini, DPR melakukannya melalui acara dengar pendapat, interpelasi, angket, maupun mengeluarkan mosi kepada presiden/perdana menteri.
EDUCATION adalah fungsi DPR untuk memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat. Anggota DPR harus memberi contoh bahwa mereka adalah sekadar wakil rakyat yang harus menjaga amanat dari para pemilihnya. Mereka harus selalu memberi pemahaman kepada masyarakat mengenai bagaimana cara melaksanakan kehidupan bernegara yang baik. Sebab, hampir setiap saat media massa meliput tindak-tanduk mereka, baik melalui layar televisi, surat kabar, ataupun internet.
REPRESENTATION, merupakan fungsi dari anggota legislatif untuk mewakili pemilih. Seperti telah disebutkan, di Indonesia, seorang anggota dewan dipilih oleh sekitar 300.000 orang pemilih. Nah, ke-300.000 orang tersebut harus ia wakili kepentingannya di dalam konteks negara. Ini didasarkan oleh konsep demokrasi perwakilan. Tidak bisa kita bayangkan jika konsep demokrasi langsung yang diterapkan, gedung DPR akan penuh sesak dengan 300.000 orang yang datang setiap hari ke Senayan. Bisa-bisa hancur gedung itu. Masalah yang muncul adalah, anggota dewan ini masih banyak yang kurang peka terhadap kepentingan para pemilihnya. Ini bisa kita lihat dari masih banyaknya demonstrasi-demonstrasi yang muncul di aneka isu politik.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Eksekutif
Eksekutif adalah kekuasaaan untuk melaksanakan undang-undang yang dibuat oleh Legislatif. Fungsi-fungsi kekuasaan eksekutif ini garis besarnya adalah : Chief of state, Head of government, Party chief, Commander in chief, Chief diplomat, Dispenser of appointments, dan Chief legislators.
Eksekutif di era modern negara biasanya diduduki oleh Presiden atau Perdana Menteri. Chief of State artinya kepala negara, jadi seorang Presiden atau Perdana Menteri merupakan kepada suatu negara, simbol suatu negara. Apapun tindakan seorang Presiden atau Perdana Menteri, berarti tindakan dari negara yang bersangkutan. Fungsi sebagai kepala negara ini misalnya dibuktikan dengan memimpin upacara, peresmian suatu kegiatan, penerimaan duta besar, penyelesaian konflik, dan sejenisnya.
HEAD OF GOVERNMENT, artinya adalah kepala pemerintahan. Presiden atau Perdana Menteri yang melakukan kegiatan eksekutif sehari-hari. Misalnya mengangkat menteri-menteri, menjalin perjanjian dengan negara lain, terlibat dalam keanggotaan suatu lembaga internasional, menandatangi surat hutang dan pembayarannya dari lembaga donor, dan sejenisnya. Di dalam tiap negara, terkadang terjadi pemisahaan fungsi antara kepala negara dengan kepala pemerintahan. Di Inggris, kepala negara dipegang oleh Ratu Inggris, demikian pula di Jepang. Di kedua negara tersebut kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Di Indonesia ataupun Amerika Serikat, kepala negara dan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden.
PARTY CHIEF berarti seorang kepala eksekutif sekaligus juga merupakan kepala dari suatu partai yang menang pemilu. Fungsi sebagai ketua partai ini lebih mengemuka di suatu negara yang menganut sistem pemerintahan parlementer. Di dalam sistem parlementer, kepala pemerintahan dipegang oleh perdana menteri yang berasal dari partai yang menang pemilu. Namun, di negara yang menganut sistem pemerintahan presidensil terkadang tidak berlaku kaku demikian. Di masa pemerintahan Gus Dur (di Indonesia) menunjukkan hal tersebut.
Gus Dur berasal dari partai yang hanya memenangkan 9% suara di Pemilu 1999, tetapi ia menjadi presiden. Selain itu, di sistem pemerintahan parlementer, terdapat hubungan yang sangat kuat antara eksekutif dan legislatif oleh sebab seorang eksekutif dipilih dari komposisi hasil suara partai dalam pemilu. Di sistem presidensil, pemilu untuk memilih anggota dewan dan untuk memilih presiden terpisah.
COMMANDER IN CHIEF adalah fungsi mengepalai angkatan bersenjata. Presiden atau perdana menteri adalah pimpinan tertinggi angkatan bersenjata. Seorang presiden atau perdana menteri, meskipun tidak memiliki latar belakang militer memiliki peran ini. Namun, terkadang terdapat pergesekan dengan pihak militer jika yang menjadi presiden ataupun perdana menteri adalah orang bukan kalangan militer. Sekali lagi, ini pernah terjadi di era Gus Dur, di mana banyak instruksi-instruksinya kepada pihak militer tidak digubris pihak yang terakhir, terutama di masa kerusuhan sektarian (agama) yang banyak terjadi di masa pemerintahannya.
CHIEF DIPLOMAT, merupakan fungsi eksekutif untuk mengepalai duta-duta besar yang tersebar di perwakilan negara di seluruh dunia. Dalam pemikiran trias politika John Locke, termaktub kekuasaan federatif, kekuasaan untuk menjalin hubungan dengan negara lain. Demikian pula di konteks aplikasi kekuasaan eksekutif saat ini. Eksekutif adalah pihak yang mengangkat duta besar untuk beroperasi di negara sahabat, juga menerima duta besar dari negara lain.
DISPENSER OF APPOINTMENT merupakan fungsi eksekutif untuk menandatangani perjanjian dengan negara lain atau lembaga internasional. Dalam fungsi ini, penandatangan dilakukan oleh presiden, menteri luar negeri, ataupun anggota-anggota kabinet yang lain, yang diangkat oleh presiden atau perdana menteri.
CHIEF LEGISLATION, adalah fungsi eksekutif untuk mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang. Meskipun kekuasaan membuat undang-undang berada di tangan DPR, tetapi di dalam sistem tata negara dimungkinkan lembaga eksekutif mempromosikan diterbitkannya suatu undang-undang oleh sebab tantangan riil dalam implementasi suatu undang-undang banyak ditemui oleh pihak yang sehari-hari melaksanakan undang-undang tersebut.
Fungsi-fungsi Kekuasaan Yudikatif
Kekuasaan Yudikatif berwenang menafsirkan isi undang-undang maupun memberi sanksi atas setiap pelanggaran atasnya. Fungsi-fungsi Yudikatif yang bisa dispesifikasikan kedalam daftar masalah hukum berikut: Criminal law (petty offense, misdemeanor, felonies); Civil law (perkawinan, perceraian, warisan, perawatan anak); Constitution law (masalah seputar penafsiran kontitusi); Administrative law (hukum yang mengatur administrasi negara); International law (perjanjian internasional).
Criminal Law, penyelesaiannya biasanya dipegang oleh pengadilan pidana yang di Indonesia sifatnya berjenjang, dari Pengadilan Negeri (tingkat kabupaten), Pengadilan Tinggi (tingkat provinsi, dan Mahkamah Agung (tingkat nasional). Civil law juga biasanya diselesaikan di Pengadilan Negeri, tetapi khusus umat Islam biasanya dipegang oleh Pengadilan Agama.
Constitution Law, kini penyelesaiannya ditempati oleh Mahkamah Konstitusi. Jika individu, kelompok, lembaga-lembaga negara mempersoalkan suatu undang-undang atau keputusan, upaya penyelesaian sengketanya dilakukan di Mahkamah Konstitusi.
Administrative Law, penyelesaiannya dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara, biasanya kasus-kasus sengketa tanah, sertifikasi, dan sejenisnya.
International Law, tidak diselesaikan oleh badan yudikatif di bawah kendali suatu negara melainkan atas nama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
BAB VI
KESIMPULAN
Doktrin trias politika ini untuk
pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu
(1689-1755) dan doktrin ini biasa ditafsirkan sebagai pemisahan kekuasaan. John
Locke mengemukakan konsep trias politika ini dalam bukunya berjudul Two Treatises on Civil Government
yang ditulisnya sebagai kritikan atas kekuasaan absolut. Menurut Locke
kekuasaan negara dibagi dalam tiga kekuasaan yaitu : kekuasaan legislatif,
kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah-pisah
satu sama lain.
Kekuasaan legislatif ialah
kekuasaan membuat peraturan dan undang-undang, kekuasaan eksekutif ialah
kekuasaan melaksanakan undang-undang dan di dalamnya termasuk kekuasaan
mengadili dan kekuasaan federatif ialah kekuasaan yang meliputi segala tindakan
untuk menjaga keamanan negara dalam hubungan dengan negara lain seperti membuat
aliansi dan sebagainya (dewasa ini disebut hunbungan luar negeri). Beberapa
puluh tahun kemudian, pada tahun 1748, filusuf Perancis Montesquieu
mengembangkan lebih lanjut pemikiran Locke ini dalam bukunya L’Esprit des Lois
(The Spirit of the Laws). Karena melihat sifat dari raja-raja Bourbon, dia
ingin menyusun suatu sistem pemerintahan dimana warga negaranya merasa lebih
terjamin haknya.
Dalam uraian dia membagi
kekuasaan pemerintahan dalam tiga cabang, yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif dan kekuasaan yudikatif. Menurut dia tiga kekuasaan itu haruslah
terpisah satu sama lain, baik mengenai tugas (fungsi) maupun mengenai alat
perlengkapan (organ) yang menyelenggarakan. Terutama adanya kebebasaan badan
yudikatif yang ditekankan oleh Montesquieu, oleh karena disinilah letaknya
kemerdekaan individu dan hak azasi manusia itu dijamin dan dipertaruhkan.
Kekuasaan legislatif menurut dia adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang
kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, sedangkan kekuasaan
yudikatif adalah kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang.
Jadi berbeda dengan John Locke yang memasukkan
kekuasaan yudikatif ke dalam kekuasaan eksekutif, Montesquieu memandang
kekuasaan pengadili (yudikatif) itu sebagai kekuasan yang berdiri sendiri. Hal
ini disebabkan oleh karena dalam pekerjaannya sehari-hari sebagai hakim,
Montesquieu mengetahui bahwa kekuasaan eksekutif itu berlainan dengan kekuasaan
pengadilan. Sebaliknya oleh Montesquieu kekuasaan hubungan luar negeri yang disebut
John Locke sebagai kekuasaan federatif, dimasukkan kedalam kekuasaan eksekutif.
Oleh Montesquieu dikemukakan bahwa kemerdekaan
hanya dapat dijamin, jika ketiga fungsi tersebut tidak dipegang oleh satu orang
atau badan, tetapi oleh tiga orang atau badan yang terpisah. Dikatakan olehnya:
“Kalau kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif disatukan dalam satu orang
atau dalam satu badan penguasa, maka tak aka nada kemerdekaan.
Akan merupakan malapetaka kalau
seandainya satu orang atau satu badan, apakah terdiri dari kaum bangsawan
ataukah dari rakyat jelata, diserahi menyelenggarakan ketiga-tiga kekuasaan
itu, yakni kekuasaan membuat undang-undang, menyelenggarakan
keputusan-keputusan umum dan mengadili persoalan-persoalan antara
individu-individu’. Pokoknya Montesquieu dengan teorinya itu menginginkan
jaminan bagi kemerdekaan individu terhadap tindakan sewenang-wenang dari
penguasa. Dan hal ini menurut pandangannya, hanya mungkin tercapai, jika
diadakan pemisahan mutlak antara ketiga kekuasaan tersebut
nama : elsa denovia
npm : 22211416
kelas : 1eb25
matkul : sosiologi politik
0 komentar:
Posting Komentar